OTONOMI DESA=OTONOMI RAKYAT DESA

Selasa, 08 Juni 2010

PEREMPUAN USAHA KECIL & LINGKARAN KETIDAK BERDAYAAN

Oleh : Vincent Bureni

Koordum Bengkel Advokasi Pemberdayaan dan Pengembangan Kampung (Bengkel APPeK) NTT


Problem Perempuan Usaha Kecil (PUK) Kota Kupang

Dalam kenyatan, berkaitan dengan urusan ekonomi rumah tangga tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan-lah yang secara rutin mengalami langsung dan bahkan selalu berpikir untuk keluar dari persoalan kemiskinan. Perempuan Usaha Kecil sebagai salah satu modal pembangunan Kota Kupang justru tergolong kelompok rentan dan tidak berdaya. Selama ini, Kelompok PUK yang didampingi Bengkel APPeK berjumlah 18 kelompok dengan total jumlah anggota PUK sebanyak 327 anggota (181 PUK yang bersuami dan 146 kepala keluarga perempuan) dengan Jenis usaha pada umumnya adalah usaha ternak kecil (ayam potong,dan ternak Babi), usaha kerajinan tangan diantaranya tenun ikat, menjahit, smok (taplak meja, kursi dll), kios kecil-kecilan dan jualan serabutan (jualan sayur di pasar, jagung bakar dll). Mayoritas anggota berusaha hasil tenunan dan smok. Jenis usaha tersebut hanya bermodalkan 250.000 – 5.000.000 rupiah.


Pada tahun 2002 hingga 2005 perjalanan usaha perempuan usaha kecil berada dalam situasi yang sangat kompleks yang menyebabkan mereka tergolong tidak berdaya sehingga dampaknya luas dalam pemenuhan kebutuhan pokok dan hak-hak dasar dalam rumah tangganya. Dengan usaha yang bermodalkan dana kecil dengan ketrampilan yang dimiliki sebagai potensi dalam dirinya justeru tidak mengalami perubahan yang signifikan.


Bengkel APPeK NTT mencoba menggambarkan siklus ketidak berdayaan perempuan usaha kecil selama periode 2002 hingga 2005 sebagai berikut:




Dari situasi tersebut, tidak berarti Perempuan Usaha Kecil (PUK) pasrah, namun berbagai tindakan sudah dilakukan untuk keluar dari lingkaran tersebut. Menurut kelompok perempuan usaha kecil bahwa persoalan kemiskinan TIDAK MUDAH UNTUK DISELESAIKAN SENDIRI. Karena betapa sulitnya keluar dari siklus ketidak-berdayaan yang terus terjadi jika tidak ditanggulangi bersama oleh pemerintah, private sector dan masyarakat.


Mencoba Bangun Strategi Baru dari Kegagalan

Pengalaman-pengalam usaha PUK yang sudah diuraikan sebelumnya telah menjadi hikmah pembelajaran untuk terus membangun strategi baru baik oleh pemerintah Kota Kupang, bengkel APPeK NTT dan tentunya Perempuan usaha kecil itu sendiri. Fakta lapangan menunjukan bahwa iklim usaha perempuan usaha kecil (PUK) tidak terlepas dari empat hal yakni : pertama, kebijakan pemerintah, kedua, Jaringan pemasaran faktor ketiga adalah faktor Budaya (adat-istiadat) dan keempat, faktor SDM indivu.

a. Faktor Kebijakan

Strategi Pemerintah Kota Kupang dengan program inovatif bagi masyarakat yang tidak mampu melalui program Dana Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (Perda kota Kupang Nomor 10 Tahun 2008) dengan melibatkan lembaga keuangan mikro agama. Lembaga keuangan mikro keagamaan tersebut (TALENTA, NURUL SA’ADAH, Koperasi PARISADA HINDU DHARMA,Koperasi SERVIAM) yang dipercayakan oleh pemerintah kota Kupang untuk mengelola dana bantuan dengan sistem yang ada pada lembaga tersebut dengan batasan bungan 6 persen per tahun. Tentu yang dapat mengakses adalah kelompok yang memiliki wira usaha sehingga dana tersebut dapat dimanfaatkan dan dapat dikembalikan. Hal ini didasari pengalaman pengelolaan dana PEM tahun 2003-2005 yang gagal dikelola oleh sektor. Dimana hasil penelitian evaluasi program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (PEM) selama tiga tahun (2003-2005) Dana PEM senilai 15.000.000.000,- (lima belas milliar rupiah) proses pengembalian cicilan dana PEM menjadi kendala dimana diketahi bahwa sekitar 18 % KUB di luar PKL tidak pernah mengembalikan atau cicilan, sekitar 52,8% mengembalikan tetapi tidak lunas sedangkan 29 % KUB yang mencicil sampai lunas. Hingga Mei tahun 2006 jumlah pengembalian sebesar Rp. 3.807.0276.650 (Hasil Penenlitian Evaluasi Program PEM Kota Kupang 2003-2005;2007, hal 61-64).



Implementasi kebijakan pemerintah Kota Kupang melalui lembaga keuangan mikro keagamaan pada tahun 2008 dialokasikan dari APBD Kota Kupang sebesar 4 milliar dan sudah terserap di masyarakat. Namun tentu masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat umum. Secara mekanisme, cukup memudahkan yakni 1) bagi peminjam di bawah 5 juta tidak punya jaminan, 2) peminjam meminta rekomendasi dari pemimpin agama setempat yang membuktikan bahwa bersangkutan benar sabagai jemaat/umat, 3) peminjam minta surat kterangan usaha dari kelurahan setempat, 4) uji kelayakan usaha oleh lembaga penyalur (lembaga keuangan mikro keagamaan) dan 5) pencairan dana dengan bunga 6 persen per tahun. Namun yang menjadi kendala adalah cicilan pinjaman dilakukan pada bulan Juni dan Juli sehingga pada akhirnya dirasa berat oleh para peminjam karena pada bulan-bulan tersebut adalah bulan anak-anak bersekolah.


Hambatan lain adalah, minimnya sosialisasi tentang kebijakan. Dengan minimnya sosialisasi kebijakan ini, maka tidak semua masyarakat mengetahui untuk mengakses dana tersebut. Walaupun hasil identifikasi pemanfaatan dana PEM tersebut kepada anggota PUK hanya sekitar 5 orang saja atau 1 kelompok. Bengkel APPeK dengan program penyadaran kritis bagi Jaringan Perempuan usaha Kecil (JARPUK INA FO’A Kota kupang), mengintegrasikan bantuan dana bergulir dengan bunga 6 persen per tahun yang di cicil sesuai kesepakatan dan berdasarkan jumlah pinjaman melalui Lembaga Keuangan Perempuan Ina Fo’a untuk dikelola secara mandiri. Lembaga keuangan Ina Fo’a memiliki kepengurusan sendiri, rekening sendiri dan membangun sisitm sendiri untuk memanfaatkan dana bergulir secara bertanggung-jawab. Perolehan dana bergulir tersebut atas kerjasama Bengkel APPeK NTT dengan Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK) nasional dan wilayah Nusa Tenggara.


b. Faktor Jaringan Pemasaran

Salah satu kendala utama dalam mengembangkan usaha bagi kelompok perempuan usaha kecil adalah soal jaringan pemasaran. Pada uraian sebelumnya bahwa mayoritas usaha anggota PUK adalah hasil kerajinan tangan (tenun ikat) yang dapat diandalkan. Namun hasil kerajinan tersebut dapat dilakukan sewaktu-waktu berdasarkan permintaan peminat atau pada saat pameran yang dilakukan oleh PUK. Pengusaha masih mendominasi pemasaran hasil tenun yang diambil dari kelompok dengan harga murah dan dipasarkan dengan harga mahal. Pada akhirnya PUK harus bersaing dengan pengusaha yang memiliki modal dan jaringan pemasaran yang luas.


Jangka pendek yang dilakukan berkaitan dengan jaringan pemasaran adalah Bengkel APPeK bersama perempuan usaha kecil mencoba mengembangkan sistim jaringan Sentral Informasi Pasar. Sistim ini dinangun untuk mencoba memangun jaringan dengan pihak lain baik dengan pemerintah, pengusaha kerajinan maupun masyarakat luas dengan mempromosikan produk-porduk kelompok. Pemerintah kota Kupang melalui Dewan kerjainan Daerah Kota Kupang telah siap untuk menampung hasil kerajinan PUK sebagai bentuk kerjasama. Untuk jangka panjang bengkel APPeK dan PUK akan membangun kerjasama dengan pihak-pihak yang peduli dengan usaha perempuan kecil akan mencoba menyediakan lokasi khusus (pasar tradisional kerajinan perempuan) agar anggota PUK bersama jaringan perempuan usaha kecil dapat memasarkan hasil secara mandiri sekaligus berupayah untuk bersaing dengan pengusaha-pengusaha baik secara kwalitas maupun kwantitas.


Disini sangat dibutuhkan kerjasama semua pihak sebagai bentuk perhatian bagi PUK untuk keluar dari ketertinggalan pemasaran hasil. Aset sosial ini harus menjadi bagian dari aset pembangunan Kota Kupang yang perlu dikembangkan agar upaya peningkatan pendapatan perkapita dapat meningkat. Dengan meningktanya pendapatan perkapita dalam keluarga tentu kebutuhan dasar akan pendidikan dan kesehatan keluarga dapat dipenuhi.


c. Faktor Budaya (Adat – istiadat)

Budaya atau adat-istiadat merupakan salah satu faktor penentu iklim usaha bagi perempuan usaha kecil. Hasil survei Bengkel APPeK menunjukan bahwa tidak dapat dipungkiri sebagian besar (20-60%) keuntungan usaha yang diupayakan selama usahanya digunakan untuk pesta adat (kawin-mawin atau upacara kematian dalam keluarga besar). Jika ada acara kawin atau kematian, beban dari keluarga perempuan (Ipar dari saudara laki-laki) selalu diwajibkan menanggung hewan (paling kurang seekor babi) dengan harga yang cukup tinggi dengan kisaran 1 juta hingga 1.5 juta bahkan diatas harga tersebut.( Hasil FGD bengkel APPeK;2006). Tentu beban ini akan menjadi tanggung-jawab juga dari seorang istri untuk melunasi tuntutan tersebut walaupun mengatasnamakan keluarga dari suaminya. Hal ini tentu sangat dilematis dalam membuat strategi baru karena secara umum budaya patriarkat di NTT dalam ranah adat dianggap sebagai aset sosial yang harus dipatuhi dan dijalankan. Namun disisi lain ini merupakan budaya pemborosan yang dampaknya PUK akan terus tidak berdaya. Melalui pendampingan dengan terus membangun kesadaran kritis bagi PUK maka dapat dikatakan bahwa secara umum ada kesadaran mengurangi pemborosan dibanding sebelumnya. Karena itu, tentu dalam konteks ini, upaya penyadaran kritis ini tidak saja kepada PUK tapi juga lebih jauh dari itu adalah para tokoh adat, tokoh agama dan pemerintah termasuk suami perlu menyadari hal ini sebagai suatu hambatan besar dalam membangun usaha yang lebih sehat dan efisien.


d. Faktor SDM individu

Kemajuan usaha seseorang selain dipengaruhi oleh kebijakan, jaringan pemasaran dan faktor budaya, juga sangat bergantung pada pribadi sesorang. Kemauan untuk maju, memiliki sifat kewirausahaan, kejujuran perlu dimiliki oleh seorang perempuan usaha kecil. Fakta lapangan pendampingan bengkel APPeK menunjukan bahwa macetnya usaha disebabkan karena anggota permpuan usaha kecil itu sendiri belum memiliki roh dan spirit dalam mengembangkan usahanya.


Sebagai perbandingan awal uraian ini, pada tahun 1998/1999, kehadiran program IDT di NTT menjadi program favorit yang diharapkan 1.892 desa dengan 18.325 Pokmas atau 62,53 % KK miskin di NTT dapat diatasi atau paling kurang terjadi menurunan angka kemiskinan dari jumlah tersebut. Namun secara keseluruhan pelaksanaan program IDT hanya sekitar 20,2 % berhasil karena kehidupan anggota membaik. Namun hasil ini bukan karena pelaksanaan program ini telah diatur dengan baik akan tetapi karena ada kreativitas individual/kelompok untuk berubah sebagai hasil insentif modal dan respons terhadap perubahan dan kemajuan masyarakat sekitar (Jurnal Balitbangda NTT, No. 02/tahun 01- April – Juni 2005; hal 55).


Hasil penelitian evaluasi program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (PEM) menunjukan bahwa selama tiga tahun (2003-2005) dana yang dikucurkan pemkot Kupang sebesar 15.000.000.000,- (lima belas milliar rupiah) terdiri atas dana bergulir untuk kredit mikro KUB sebanyak 96,34 %(Rp. 13.491.079.000) dan dana untuk pembinaan 3,64 % (Rp. 1.409.921.000). Lebih lanjut, jika menganalisis terhadap profil dan kinerja KUB diketahui 84 % tidak pernah mendapatkan pendampingan dan pembinaan. Hal ini berdampak pada perkembangan usaha dan akhirnya proses pengembalian cicilan dana PEM menjadi kendala dimana diketahi bahwa sekitar 18 % KUB di luar PKL tidak pernah mengembalikan atau cicilan, sekitar 52,8% mengembalikan tetapi tidak lunas sedangkan 29 % KUB yang mencicil sampai lunas. Jadi secara keseluruhan dari total anggaran dan PEM untuk dana bergulir tanpa bunga sebesar Rp. 13.491.079.000,- tersebut hingga Mei 2006 jumlah pengembalian sebesar Rp. 3.8070276.650 (Hasil Penenlitian Evaluasi Program PEM Kota Kupang 2003-2005;2007, hal 61-64).


Dua pengalaman tersebut diatas telah menjadi pengalaman berharga dalam membangun kesadaran usaha perempuan usaha kecil selama bengkel APPeK melakukan pendampingan. Tentu tidak semua orang memiliki semua spirit diatas. Ada yang memiliki kemauan untuk maju namun tidak memiliki jiwa kewira usahaan atau sebaliknya. Untuk itu bengkel APPeK dalam melakukan pendampingan, diskusi penyadarana kritis, pelatihan kewira-usahaan terus dilakukan baik melalui program tersendiri ataupun terintegrasi melalui program lain. Untuk sementara dapat digambarkan bahwa kesadaran usaha dari PUK baik secara kwalitas maupun kwantitas sudah mulai nampak. Secara kwalitas, pengurus jaringan perempuan usaha kecil (JARPUK) dan kelompok perempuan usaha kecil (KAPUK) setiap tanggal 5 (berdasarkan kebutuhan) dalam sebulan selalu melakukan diskusi dengan anggota untuk terus membangun motivasi usaha sekaligus memonitoring perkembangan usaha bagi anggota. Secara kwantitas, dana bergulir bagi anggota setiap bulan dicicil dan terus digulirkan bagi anggota PUK yang terus meningkat. Tentu ini merupakan satu bentuk semangat usaha dari anggota PUK yang perlu dihargai dan dimanfaatkan sebagai aset bagi pembangunan itu sendiri.***


-------------------------------------------------------

DAFTAR PUSTAKA

1. Hasil Penelitian Evaluasi Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (PEM) Kota Kupang TA 2003-2007, Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana kerjasama Badan Penelitian dan Pengembangan dan PDE Kota Kupang, 2006.

2. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Kota Kupang 2007-2026, 2007.

3. Hasil Penelitian Program IDT 1998/1999, Jurnal Balitbangda NTT, No. 02, Tahun
01, April-Juni 2005.










TRANSLATE:

SHARE IT:

Twitter Facebook Delicious Google Delicious Stumbleupon Delicious Technorati Reddit GoogleBuzz Buzz Myspace Yahoo Favorites More

Berlangganan Artikel

Enter your email address:

Delivered by Vinsen Bureni